Sepenggal Nasehat dari Sahabat “Gila”

Sore hari ditemani guyuran hujan gerimis diteras depan dalam mood yang rada bete, iseng-iseng aku SMS-an dengan seorang kawan karib.

“Sore, Mbah. Pripun kabare?”, ku awali sebuah SMS

“Sore juga, Om..kabare sae. Lha sampean pripun? ( kabar baik, lha kamu sendiri gimana?)”, jawab seorang kawan tersebut.

“Biasa wae, Mbah.. (biasa saja, Mbah)”, balasku

Obrolan SMS berlanjut dan tetap memnggunakan bahasa Jawa, maklum kebiasaan daerah.

“Nembe nggarap to, Mbah? ( sedang kerja to?)”, lanjutku.

“Ora, lagi leyeh-leyeh (nggak, sedang rehat aja).”, jawab kawan itu.

“Mesti rame yo? (pasti ramai -job-, ya?)”, tanyaku melanjutkan

Aku beranjak dari teras pergi ke belakang sebentar membuat teh panas untuk menemani mood yang rada bete dan menghangatkan tubuh yang rada dingin akibat hujan gerimis yang tak reda-reda, sambil menunggu balasan SMS dari kawan tersebut.

“biiip...biiipppp”, SMS masuk, hp aku berbunyi standar tanpa nada dering dari layanan operator maupun pihak lain. Maklum, bagi aku itu hanyalah pemborosan dan memang enggak perlu mengingat pendengaran aku yang sudah gak normal lagi alias rada budeg.

Kubuka dan kubaca SMS dari kawan ersebut.

“Yo enek tur mlaku, timbangane ra garap opo-opo. Lha nggonmu rame, ra?(ada pesanan dikerjakan, daripada melongo. Lha tempatmu [pesanan] rame ga?)”, jawab sobat dari SMS tersebut.

“Wah, penak nuh. Yen gonku saiki lg ra ono pesenan, wis meh 3 minggu aku ra nggarap opo-opo. (wah enak donk. Di tempatku sedang ga ada pesenan, udah hampir 3 minggu gak ngerjain apa-apa)”, bales aku.

“Penak luambemu kuwi. Mumet le! ( Enak apanya, pusing tau!)”, kawan tersebut sewot.

“Mending mumet kakehan pesenan, timbangane mumet ra ono pesenan. Hayo? ( Masih mending pusing karena banyak pesanan, daipada pusing tapi ga ada pesanan, hayo?)”, balasku ndablek.

“Crigis! (cerewet!)”, si kawan makin sewot. Hahahah

Cekikikan dan tertawa-tawa sendiri aku didepan teras membaca SMS kawan tersebut, sambil sesekali aku menyeruput teh panas. Uuuhhhh, nikmat sejenak.

“Ngono wae nesu, Mbah. ( Gitu aja marah)”, balasku lagi, meski aku tau dia gak marah.

“Ora, sopo sing nesu? Aku ki lagi sedih. (Nggak. Siapa yang marah? Aku ini sedang sedih)”, jawabnya.

Sejenak aku rada kaget dengan balesannya ini. Maklum saja, selama kenal dengannya seumur hidup ia belum sekalipun menampakkan sebuah kesedihan alih-alih mengakatakannya lewat SMS.

“Dengaren iso sedih, Mbah. Ra biasane lho. ( tumben bisa sedih, gak biasanya lho)”, jawabku keheranan.

“Aku ki sedih mikir sampean (Aku ini sedih mikirin kamu)”, semakin serius saja dia membalas SMS.

“Wew, suwun Mbah wis perhatian karo aku (makasih udah perhatian sama aku)”, balasku dengan mimik masih tersenyum. Dan aku tau maksud SMSnya itu. Ia sungguh-sungguh dengan perkataannya.

Kuseruput lagi teh panasku beberapa kali sampe tinggal sedikit, tidak ada balasan SMS lagi dari sahabat itu. 1, 2, 3, 5 menit masih gak ada balasan SMSnya. Jangan-jangan ia kehabisan pulsa? Ah, tidak. Ia lebih makmur dari aku, gak mungkin isi pulsanya sedikit.

“biiippp...biiipppp...”, sebuah SMS tiba-tiba masuk lagi setelah sekian menit. Oh, masih dari kawan tersebut. Langsung aku buka lagi.

“Kapan rabi?”, tiba-tiba dia mengirim SMS dengan pertanyaan yang paling aku benci.

“Yo yen wis mapan. Lha sampean kapan? ( kalau sudah mapan, lha kamu kapan?)”, balasku tak mau kalah. Maklum, kita sama-sama masih jomblo. Hanya saja, si kawan tersebut sudah makmur dari segi materi dan umur sudah matang sekali kalau ga mau dibilang sudah tua.

“Aku yen wis mari, insya Allah ketemu jodone lagi rabi. (aku kalau sudah sembuh, insya allah bertemu jodohku baru rabi)”, balasnya

“Mari? Emange kowe loro opo? (Sembuh, memangnya kamu sakit apa?)”, tanyaku rada terkaget-kaget.

“Mari kentir-e, le! (sembuh edan-nya, nak!)”, jawab si teman yang spontan membuat aku tertawa ngakak di teras depan.

“Halah! Kowe wis tuek, wis makmur lan mapan ndadak ngenteni mari kentire. Nek aku kan bedo, durung mapan. Aku wis mapan koyo kowe ngunu langsung rabi mas bro.” Jawabku panjang lebar.

(Halah! Kamu udah tua, sudah makmur dan mapan masak pakai nunggu sembuh edannya. Lain denganku, belum mapan. Andai aku mapan seperti kamu, aku sudah nikah, begitu kira-kira terjemahannya).

“Mapan ki ojo dienteni, ojo ditunggu. Mapan ki digoleki, dioyak...ngko lak ketemu rejekimu.” Tiba-tiba sang kawan yang “edan” itu memberikan sebuah nasehat yang sangat benar namun juga sangat menohok dan dalam. Membuat aku berpikir, dan kali ini aku tidak tersenyum. Benar-benar sebuah nasehat yang keras, bak petir di siang bolong yang membangunkan aku dari mimpi indah terlalu lama.

Terimakasih untuk sahabatku.....aku belajar banyak dari “kegilaanmu”.