Waktu itu saya berniat berjamaah sholat dhuhur di masjid, karena suatu hal saya terlambat datang dan akhirnya tertinggal dua raka’at alias masbuk. Pada raka’at terakhir, datang seorang paruh baya sekitar 60-an tahun langsung makmum dan persis berdiri di sebalah kanan saya. Ia, makmum masbuq paruh baya tadi, mendapatkan satu raka’at sempurna sebelum imam mengucap salam dan mengakhiri shalat dhuhur tersebut.
Seperti yg selama ini saya dan semua orang muslim ketahui, kalau makmum masbuk wajib mengganti rakaat yang hilang karena tertinggal tadi sesuai dengan jumlah rakaat yang hilang dan menurut aturan dan tata urutan shalat wajib berdasar waktu, dalam kasus saya ini adalah shalat dhuhur.
Sebagai makmum masbuk yg kehilangan dua raka’at, saya wajib menggantinya dua reka’at pula supaya genap menjadi empat reka’at setelah imam mengucap salam. Itu berarti dua raka’at tadi saya kerjakan dengan cara satu raka’at berdiri dan satu raka’at tahiyat yang secara otomatis menjadi tahiyyat akhir. Saya rasa semua muslim mengetahui hal semacam ini dan sudah menjadi hal yang lumrah.
Dan, biasanya setiap makmum yang masbuk akan mengganti raka’at yang hilang tadi dengan cara shalat sendiri-sendiri. Namun hal ini tidak berlaku buat bapak paruh baya tadi, yang kehilangan tiga raka’at shalat dhuhur. Ia, bapak paruh baya tadi, justru mengganti tiga raka’at yang hilang tadi dengan cara menjadi makmum saya. Artinya, setelah ia mendapat satu raka’at sempurna ( karena ia kehilangan/tertinggal tiga raka’at, berarti satu raka’at sempurna tadi ia mengikuti imam dan makmum yang lain yaitu duduk tahiyyat), bapak paruh baya tadi – yang mengganti tiga raka’at yang hilang dengan cara menjadi makmum saya – pada raka’at kedua yang seharusnya tahiyyat awal, beliau justru berdiri mengikuti saya yang – menurut jumhur ulama – cara mengganti dua raka’at yang hilang pada shalat dhuhur, ‘ashar dan isya (setelah imam salam) adalah raka’at pertama berdiri. Karena bapak paruh baya tadi bermakmum terhadap saya (ini terlihat dengan jelas dari tiap raka’at yang saya kerjakan tadi dimana bapak paruh baya tadi selalu mengikuti saya), begitu saya selesai mengganti dua raka’at yang hilang tadi dan mengucap salam, bapak paruh baya tadi yang merasa kehilangan tiga raka’at tidak ikut salam tapi meneruskan shalatnya satu raka’at untuk menggenapi menjadi empat sesuai jumlah raka’at shalat dhuhur.
Entah ilmu agama saya yang sangat kurang atau dari pihak bapak paruh baya tadi yang asal mengganti raka’at yang hilang, yang jelas hal tersebut diluar kebiasaan yang selama ini saya dan mungkin segenap muslim ketahui dan lakukan. Satu hal yang pasti adalah, meski bapak paruh baya tadi seorang muslim, namun baru beberapa tahun mengerjakan shalat setelah meninggalnya sang istri.
Karena perilaku masyarakat di kampung saya yang pasif, alias nrimo atau lebih tepatnya ‘ga mau tau’ sehingga hal-hal semacam ini cenderung dibiarkan dengan pura-pura ga tahu dan ga melihat, termasuk di sini saya sendiri. Jadinya serba salah, mau memberi tahu nanti dibilang menggurui orang tua. Kalau didiamkan merasa berdosa.
Wallahu a’lam bish-showab….
source : wikipedia
Seperti yg selama ini saya dan semua orang muslim ketahui, kalau makmum masbuk wajib mengganti rakaat yang hilang karena tertinggal tadi sesuai dengan jumlah rakaat yang hilang dan menurut aturan dan tata urutan shalat wajib berdasar waktu, dalam kasus saya ini adalah shalat dhuhur.
Sebagai makmum masbuk yg kehilangan dua raka’at, saya wajib menggantinya dua reka’at pula supaya genap menjadi empat reka’at setelah imam mengucap salam. Itu berarti dua raka’at tadi saya kerjakan dengan cara satu raka’at berdiri dan satu raka’at tahiyat yang secara otomatis menjadi tahiyyat akhir. Saya rasa semua muslim mengetahui hal semacam ini dan sudah menjadi hal yang lumrah.
Dan, biasanya setiap makmum yang masbuk akan mengganti raka’at yang hilang tadi dengan cara shalat sendiri-sendiri. Namun hal ini tidak berlaku buat bapak paruh baya tadi, yang kehilangan tiga raka’at shalat dhuhur. Ia, bapak paruh baya tadi, justru mengganti tiga raka’at yang hilang tadi dengan cara menjadi makmum saya. Artinya, setelah ia mendapat satu raka’at sempurna ( karena ia kehilangan/tertinggal tiga raka’at, berarti satu raka’at sempurna tadi ia mengikuti imam dan makmum yang lain yaitu duduk tahiyyat), bapak paruh baya tadi – yang mengganti tiga raka’at yang hilang dengan cara menjadi makmum saya – pada raka’at kedua yang seharusnya tahiyyat awal, beliau justru berdiri mengikuti saya yang – menurut jumhur ulama – cara mengganti dua raka’at yang hilang pada shalat dhuhur, ‘ashar dan isya (setelah imam salam) adalah raka’at pertama berdiri. Karena bapak paruh baya tadi bermakmum terhadap saya (ini terlihat dengan jelas dari tiap raka’at yang saya kerjakan tadi dimana bapak paruh baya tadi selalu mengikuti saya), begitu saya selesai mengganti dua raka’at yang hilang tadi dan mengucap salam, bapak paruh baya tadi yang merasa kehilangan tiga raka’at tidak ikut salam tapi meneruskan shalatnya satu raka’at untuk menggenapi menjadi empat sesuai jumlah raka’at shalat dhuhur.
Entah ilmu agama saya yang sangat kurang atau dari pihak bapak paruh baya tadi yang asal mengganti raka’at yang hilang, yang jelas hal tersebut diluar kebiasaan yang selama ini saya dan mungkin segenap muslim ketahui dan lakukan. Satu hal yang pasti adalah, meski bapak paruh baya tadi seorang muslim, namun baru beberapa tahun mengerjakan shalat setelah meninggalnya sang istri.
Karena perilaku masyarakat di kampung saya yang pasif, alias nrimo atau lebih tepatnya ‘ga mau tau’ sehingga hal-hal semacam ini cenderung dibiarkan dengan pura-pura ga tahu dan ga melihat, termasuk di sini saya sendiri. Jadinya serba salah, mau memberi tahu nanti dibilang menggurui orang tua. Kalau didiamkan merasa berdosa.
Wallahu a’lam bish-showab….
source : wikipedia
0 komentar:
Post a Comment