Penulis kitab Fadha’ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II,
halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab
Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10
Surah Al-Kahfi,
إِذْ أَوَى الفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوْا رَبَّنَا ءَاتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا
"(Ingatlah)
tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu
mereka berdo'a: "Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari
sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan
kami (ini)" (QS al-Kahfi:10)
Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari
halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:
Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin,
pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata
kepada Khalifah: “Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan
sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan
beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban
kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang
benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda
tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan
Muhammad bukan seorang Nabi.”
“Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan,” sahut Khalifah Umar.
“Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing
langit, apakah itu?” Tanya pendeta-pendeta itu, memulai
pertanyaan-pertanyaannya. “Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah
kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada
kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada
bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami
tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi,
tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau
atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung
puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh
ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda
di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu
ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia
sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia
sedang berkicau?”
Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian
berkata: “Bagi Umar, jika ia menjawab ‘tidak tahu’ atas
pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan
suatu hal yang memalukan!”
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi
yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata:
“Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan
agama Islam itu adalah bathil!”
Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: “Kalian tunggu sebentar!”
Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: “Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!”
Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: “Mengapa?”
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah
Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah
Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup
punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat
Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru
memeluknya, sambil berkata: “Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar,
engkau selalu kupanggil!”
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang
menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata: “Silakan
kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah
s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari
ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!”
Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan
mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku ingin
mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti
sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di
dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!”
“Ya baik!” jawab mereka.
“Sekarang tanyakanlah satu demi satu,” kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: “Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?”
“Induk kunci itu,” jawab Ali bin Abi Thalib, “ialah syirik kepada
Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia
bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke
hadhirat Allah!”
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat)
bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!”
Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil
berkata: “Orang itu benar juga!” Mereka bertanya lebih lanjut:
“Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat
berjalan bersama penghuninya!”
“Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera
Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi Yunus as. dibawa keliling
ketujuh samudera!”
Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: “Jelaskan kepada
kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya,
tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman
putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya:
“Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak
diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak
sadar!”
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: “Beritahukan
kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan
bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang
dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam.
Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim.
Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar
jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu
mengatakan: “Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah Rasul Allah!”
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada
Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh
sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama
Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada
anda.”
“Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan,” sahut Imam Ali.
“Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu
sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah.
Bagaimana hikayat tentang mereka itu?” Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali Thalib menjawab: “Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah
para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh
Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah
mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku sudah banyak mendengar tentang
Qur’an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan
nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja
mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua
kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke
depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang.
Lalu ia berkata: “Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w.
kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di
negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan
nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus
(Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi
Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk
negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu
meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia
bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim.
Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya
berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota
kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana.”
Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus
bertanya: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk
Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan: “Hai saudara Yahudi, raja itu
membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar.
Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh.
Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas,
dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari
emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat
dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang
harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya
sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga
matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi
serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya
80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah
kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan
duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari
emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya.
Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil
berkata: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari
apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali menerangkan, “mahkota raja itu
terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya
bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang
menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan,
terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan
baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera
berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat
indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus
berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang,
terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan
menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu
keputusan apa pun tanpa berunding lehih dulu dengan mereka. Enam orang
pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di
sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: “Hai Ali, jika
yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi
pembantu-pembantu raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: “Kekasihku Muhammad
Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri
di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan
Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri,
masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu
berunding dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh
semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan
menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi
wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari
bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang
membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu
terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu
berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap
serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat
sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi.
Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi
wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu
mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada
dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung
itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di
atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak
di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga
puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun,
tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur,
berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian
kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku
diri sebagai “tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya.
Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai
macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau
tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab
itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup
lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja.
Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas
singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah
seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk
menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan
peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu,
sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala.
Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana.
Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan –seorang cerdas
yang bernama Tamlikha– memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh
fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: “Kalau Diqyanius itu
benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan
sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua
bukanlah sifat-sifat Tuhan.”
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan
di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari
tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka
berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha
sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: “Hai
Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?”
“Teman-teman,” sahut Tamlikha, “hatiku sedang dirisaukan oleh
sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga
tidak ingin tidur.”
Teman-temannya mengejar: “Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah lama aku memikirkan soal langit,” ujar Tamlikha menjelaskan.
“Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: ’siapakah yang mengangkatnya ke
atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan
dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang
menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias
langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga
bumi ini: ‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala?
Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah,
tidak goncang dan tidak miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku
sendiri: ‘Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku?
Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya
itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius’…”
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki
Tamlikha diciumi sambil berkata: “Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang
terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu,
baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!”
“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha, “baik aku maupun kalian tidak
menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu,
pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!”
“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah
kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu
kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan
kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada
teman-temannya: “Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari
raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda
dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan
urusan kita serta memberikan jalan keluar.”
Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7
farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa
berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada
penggembala itu mereka bertanya: “Hai penggembala, apakah engkau
mempunyai air minum atau susu?”
“Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,” sahut penggembala itu.
“Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku
menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku
bagaimana cerita perjalanan kalian itu!”
“Ah…, susahnya orang ini,” jawab mereka. “Kami sudah memeluk suatu
agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami
mengatakan yang sebenarnya?”
“Ya,” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi
pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera
bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia
berkata: “Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam
hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak
mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan
segera kembali lagi kepada kalian.”
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera
pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama
kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing
miliknya.”
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya
melonjak berdiri lagi sambil berkata: “Hai Ali, jika engkau benar-benar
tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan,
“kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa
anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam
orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata
kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan
membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing
itu dihalau saja dengan batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di
atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan
lancar dan jelas sekali: “Hai orang-orang, mengapa kalian hendak
mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada
sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan
dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t.”
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi. Penggembala
tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka
mendekati sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat
duduknya sambil berkata: “Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua
itu?!”
Imam Ali menjelaskan: “Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!”
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan
gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali.
Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu.
Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang
anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil
menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian
Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka.
Kepada masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua
Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah
lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan
sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam
supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia
bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa
mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000
pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang
pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati
gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang
tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa
enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau aku hendak menghukum
mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan
mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah
tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!”
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup
rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen).
Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya: “Katakanlah
kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak
berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit,
agar mereka dikeluarkan dari tempat itu.”
Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t.
mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai
memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya
masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: “Malam tadi
kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mataair!”
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mataair
itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi
kering semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka
saling bertanya: “Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia
berangkat ke kota membawa uang untuk bisa niendapatkan makanan? Tetapi
yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai
membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi.”
Tamlikha kemudian berkata: “Hai saudara-saudara, aku sajalah yang
berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala,
berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!”
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke
kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum
pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui.
Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar
di angkasa bertuliskan: “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh
Allah.”
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap
mata, lalu berkata seorang diri: “Kusangka aku ini masih tidur!”
Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan
perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil.
Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya
di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: “Hai tukang
roti, apakah nama kota kalian ini?”
“Aphesus,” sahut penjual roti itu.
“Siapakah nama raja kalian?” tanya Tamlikha lagi. “Abdurrahman,” jawab penjual roti.
“Kalau yang kaukatakan itu benar,” kata Tamlikha, “urusanku ini
sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!”
Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang
dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan
lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata
kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, kalau benar-benar engkau
mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu
dibanding dengan uang baru!”
Imam Ali menerangkan: “Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w.
menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding
dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua
pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata
kepada Tamlikha: “Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau
baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau
tidak, engkau akan kuhadapkan kepada raja!”
“Aku tidak menemukan harta karun,” sangkal Tamlikha. “Uang ini
kudapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga
tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya
menyembah Diqyanius!”
Penjual roti itu marah. Lalu berkata: “Apakah setelah engkau
menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu
kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka
yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari
300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak
memperolok-olok aku?”
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja
yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja
bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha: “Bagaimana cerita
tentang orang ini?”
“Dia menemukan harta karun,” jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata: “Engkau tak perlu takut! Nabi Isa
a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta
karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya
engkau akan selamat.”
Tamlikha menjawab: “Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!”
Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau penduduk kota ini?”
“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.
“Adakah orang yang kau kenal?” tanya raja lagi.
“Ya, ada,” jawab Tamlikha.
“Coba sebutkan siapa namanya,” perintah raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada
satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir
mendengarkan. Mereka berkata: “Ah…, semua itu bukan nama orang-orang
yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai
rumah di kota ini?”
“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha. “Utuslah seorang menyertai aku!”
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi.
Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi
di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang
mengantarkan: “Inilah rumahku!”
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah
sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian
putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia
terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang:
“Kalian ada perlu apa?”
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: “Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!”
Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: “Siapa namamu?”
“Aku Tamlikha anak Filistin!”
Orang tua itu lalu berkata: “Coba ulangi lagi!”
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk
lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: “Ini adalah datukku! Demi
Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari
Diqyanius, raja durhaka.” Kemudian diteruskannya dengan suara haru: “Ia
lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi.
Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada
kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!”
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan
kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke
tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah
melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha
diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi
tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: “Hai Tamlikha,
bagaimana keadaan teman-temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.
“Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana.
Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua
orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa
Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu.
Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan
para pengikut mereka: “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku
mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti
menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu
kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan
memberitahu mereka!”
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam
gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan
Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: “Puji
dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!”
Tamlikha menukas: “Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?”
“Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,” jawab mereka.
“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian sudah tinggal di sini selama 309
tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi
sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada
Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan
kalian!”
Teman-teman Tamlikha menyahut: “Hai Tamlikha, apakah engkau hendak
menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?”
“Lantas apa yang kalian inginkan?” Tamlikha balik bertanya.
“Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga,” jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa:
“Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami
tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah
kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!”
Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan
Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah s.w.t.
melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang
menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh
hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat
ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu
dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya
kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang bangsawan itu memandang semua
peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang
diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: “Mereka mati dalam
keadaan memeluk agamaku! Akan kudirikan sebuah tempat ibadah di pintu
guha itu.”
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: “Mereka mati
dalam keadaan memeluk agamaku! Akan kudirikan sebuah biara di pintu gua
itu.”
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian
senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang
beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah
berfirman, yang artinya: “Orang-orang yang telah memenangkan urusan
mereka berkata: ‘Kami hendak mendirikan sebuah rumah peribadatan di
atas mereka’…” (S. Al Kahfi: 21).
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah
para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang
menanyakan kisah itu: “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam
kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah
semua yang kuceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam
Taurat kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab: “Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah
dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan
menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa
tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta
Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling
berilmu di kalangan ummat ini!”
Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi),
kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha
‘ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al
Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan
yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.